In Memorial dengan Anreguruta DR (HC) KH. M. Sanusi Baco, LC.

BAGIKAN:

Share on whatsapp
Share on facebook
Share on twitter

Semalam sekitar pukul 20:30 WIB, saya menerima telepon dari adik Ipar saya Dr. Wahyuddin Naro, Pembantu Rektor UIN Alauddin Makassar yang mengabarkan bahwa Pak KH. Sanusi Baco telah meninggal dunia. Tidak lama lagi sesudah saya menerima telepon dari putranya, Dr. Taufik, Sekretaris Kopertais XV Makassar, yang juga menyatakan bahwa Abahnya sudah meninggal dunia. Saya hanya sanggup menyatakan إنا للله وإنا إليه راجعون dan dalam hati saya berkata: “Guruku, orang tuaku, pendidikku, dan guru dari semua orang di bumi Indonesia Timur telah pergi.” Inilah kalimat yang pas saya ucapkan untuk beliau. Lalu saya katakan kepada putranya, kami, saya dan istri saya hanya bisa mendoakan untuk beliau dari jauh pada saat ini, karena kita dalam suasana pandemi dan lockdown untuk mudik. Seandainya suasana normal, saya dan istri berangkat ke Makassar pagi ini.

Saya dan istri saya termasuk orang yang banyak pengalaman dan menimba ilmu dari beliau selama bergaul dengan beliau. Apalagi ketika saya masih bertugas sebagai dosen di Fakultas Syari’ah IAIN Alauddin Makassar, dan beliau juga adalah dosen di fakultas yang sama dengan saya. Yang saya lihat, ketika beliau berada di ruang dosen, bermujalasah dengan beliau, yang beliau selalu bicarakan dan katakan kepada para dosen itu adalah ilmu. Tidak ada waktu duduk dengan beliau, kecuali beliau berbicara dan menyampaikan ilmu.

Ada beberapa ilmu dari beliau yang saya tidak bisa lupakan yang saya dapat sebutkan di dalam tulisan ini.

Suatu saat beliau berkata dalam sebuah majlis: “Nabi Muhammad, Rasulullah yang terakhir adalah manusia yang paling mulia, dan nabi yang paling agung. Allah sangat memuliakan Rasulnya Muhammad lebih dari nabi-nabi dan rasul-rasul yang lain. Kelebihannya yang pertama adalah “Beliau diberi gelar oleh Allah dengan صلى الله عليه وسلم (Shallallāhu ‘alaihi wasallam), sedangkan nabi-nabi yang lain hanya mendapat gelar عليه السلام (‘alaihis salām).

Kelebihan yang kedua adalah bahwa ketika Allah menyeru atau memanggil Nabi Muhammad, Allah tidak pernah memanggilnya dengan namanya, seperti Ya Muhammad, tetapi Allah memanggilnya dengan dengan panggilan yang sangat sopan dan santun, yaitu يأيها النبي (Yā ayyuhan Nabiyy) atau dengan panggilan يأيها الرسول (Yā ayyuhar Rasūl). Inilah kehebatan rasul kita Muhammad saw., sebagai yang digunakan oleh Allah di dal;am Al-Qur’an, kata beliau. Ilmu ini tidak saya lupakan.

Dalam majelis yang lain ada suatu riwayat yang disampaikan oleh beliau yang menceritakan tentang Sayidina Umar bin al-Khattab, Ali bin Abi Thalib Karramallahu wahah, dan Ibn Khudzafah. Cerita beliau seperti ini. “Pada suatu saat ada seorang sahabat, yang bernama Ibn Khudzafah, datang ke kantor Sayidina Umar bin al-Khattab yang ketika itu adalah khalifah (Presiden pada zaman sekarang). Ketika Ibn Khudzafah sampai di kantor itu, setelah Khudzafah mengucapkan salam kepada sang khalifah, Umar bin al-Khattab bertanya kepada Ibn Khudzafah. Bagaimana kabarmu? Ibn Khudzafah menjawab pertanyaan Sayidina Umar dengan jawaban seperti ini. “Saya sekarang membenci KEBENARAN (الحق). Saya suka FITNAH (الفتنة). Saya SALAT (أصلي) tanpa wudu’. Apa yang aku MILIKI di bumi TIDAK DIMILIKI oleh Allah yang ada di langit.” Mendengar jawaban Ibn Khudzafah, Sayidina Umar menjadi sangat marah kepada Ibn Khudzafah atas jawaban yang diberikan. Karena jawaban Ibn Khudzafah tidak masuk di akal Sayidina Umar.

Pada saat Sayidina Umar sedang marah-marah, tiba-tiba Sayidina Ali bin Abi Thalib masuk. Beliau melihat Sayidina Umar sedang marah-marah pada sang tamunya, Ibn Khudzafah. Sayidina Ali bertanya: “Apa yang membuat Anda marah, ya Khalifah?. Bagaimana saya tidak marah, dia menjawab pertanyaanku dengan jawaban-jawaban yang tidak masuk akal.

Lalu terjadi dialog antara Sayidina Ali dan Sayidina Umar. Apa jawabannya, ya Khalifah, tanya Sayidina Ali. Sayidina Umar berkata, jawaban dia adalah: “Saya sekarang membenci KEBENARAN (الحق).” Ali menjelaskan, apa yang dikatakannya itu benar, ya Khalifah. Dia membenci KEBENARAN, artinya “Dia membenci kematian, dia tidak mau mati. Sebab, الحق juga diartikan dengan kematian.” Mendengar jawaban Sayidina Ali, Sayidina Umar menjadi faham, dan marahnya mulai turun.

Apalagi yang dikatakannya: “Saya suka FITNAH.” Apa yang dikatakannya benar. Sebab, FITNAH itu artinya ANAK, ISTERI, DAN HARTA. Dia menyatakan itu berarti: “Dia sangat mencintai ANAK,. ISTERI DAN HARTANYA.” Mendengar penjelasan Sayidina Ali, kemarahan Sayidina Umar bertambah turun.

Sayidina Ali bertanya lagi, apa yang dikatakannya. “Saya SALAT tanpa wudu’.” Apa yang dikatakannya benar. SALAT yang dimaksud di sini bukanlah SALAT LIMA WAKTU, tetapi yang dimaksud adalah SALAWAT KEPADA RASULULLAH. Artinya dia mengucapkan salawat kepada Rasulullah tanpa wudu’. Memang benar kan, kalau mengucapkan SALAWAT tidak perlu wudu’. Mendengar penjelasan Sayidina Ali kemarahan Sayidina Umar sudah hampir hilang.

Sayidina Ali bertanya lagi, tentang apa yang telah dikatakannya. Umar menjawab, dia berkata: “Saya MEMILIKI di bumi apa yang tidak dimiliki Allah di langit.” Sayidina Ali mengatakan, apa yang dikatakannya itu adalah benar. Yang dia maksud, adalah bahwa dia MEMILIKI ANAK DAN ISTRI, sedang Allah tidak memiliki istri dan anak.” Mendengar penjelasan yang terakhir dari Sayidina Ali ini, kemarahan Sayidina Umar langsung hilang sama sekali, dan beliau menjadi tenang dan ceria. Pada saat itulah Sayidina Umar berkata kepada Ali, “Memang Anda adalah orang yang hebat. Seburuk-buruknya tempat yang ada di dunia ini, adalah tempat yang di dalamnya tidak ada Anda, Wahai Abu al-Hasan (Hasan, nama putra pertama dari Ali).

Saya sangat kagum mendengar riwayat yang diceritakan oleh Andreguruta, KH. Sanusi Baco. Setelah itu saya bertanya kepada beliau, kisah itu Ustaz baca dari buku mana? Beliau lalu menjawab: “Kisah itu dari buku Al-Islam wa Mazayaahu (الإسلام ومزاياه = Islam dan kelebihannya), karya Muhammad Mutawwali Sya’rawi, seorang ulama dan mubalig besar di Kairo.

Ada pengalaman lain lagi dengan saya. Ketika saya hendak melangsungkan perkawinan saya di tahun 1984, saya mendatangi beliau di rumahnya, di Jln. Pongtiku Raya untuk suatu hajat. Hajat itu adalah saya meminta beliau untuk memberikan tausiah (nasihat perkawinan) dalam acara resepsi pernikahan saya. Ketika saya bersilaturrahim di rumahnya, saya menyampaikan hajat saya itu. Saya katakan kepada beliau bahwa “Saya akan melangsungkan pernikahan saya dengan murid, anak didik Ustaz, Dra. Musdah Mulia, dan pesta pernikahan kami akan dilangsungkan di Gedung Islamic Centre IMIM Makassar. Saya katakan: “Selama ini saya selalu mendengarkan tausiah nasihat perkawinan dan ustaz pada saat orang lain menikah dan mengadakan resepsi pernikahan. Kali ini saya sendiri, ketika berada di pelaminan ingin mendengarkan sendiri nasihat pernikahan dari Ustaz. Tidak ada kalimat yang keluar dari mulut beliau, kecuali beliau mengatakan “Saya akan hadir.” Nasihatnya sangat menyejukkan, menyenangkan, dan menenangkan.

Pada tahun 2015, ketika mengadakan acara Ulang Tahun Saya yang ke-60, di Gedung Islamic Centre IMMIM Makassar, saya juga meminta beliau untuk memberi tausiah dan doa pada acara itu. Beliau saya senang dan menerima baik permohonan saya untuk acara. Inilah beberapa cerita pengalaman dengan beliau. Masih banyak cerita yang saya tidak paparkan dalam edisi khusus ini.

Saya hanya bisa mendoakan, semoga Allah selalu merahmatinya di alam kuburnya. Semua amalnya diberi ganjaran pahala yang berlipat oleh Allah. Semua dosanya diampuni Allah. Semoga semua ilmu yang bermanfaat yang diajarkan kepada para muridnya dan amal-jariahnya yang lain senantiasa mengalir terus kepada beliau. Amin ya Rabbana.

Jakarta, 16 Mei 2021

Prof. Dr. H. Ahmad Thib Raya, MA.